Makam Keramat Sunan Bonang dibentengi oleh tiga buah Gunung yakni Gunung Jaya di sebelah Utara, Gunung Bendera Tenggara, dan Gunung Biru disebelah Barat Daya.
nama-nama Gunung yang membentengi Makam Keramat Sunan Bonang tersebut adalah nama- nama baru, yang telah berubah dari nama aslinya.
Menurut pitutur para Sesepuh Leluhur Cupang, yang diwariskan dengan cara Tutur Tinular, turun temurun dari satu generasi ke generasi penerusnya,
dikisahkan bahwa pada zaman Sunan Gunung jati Syekh Syarif Hidayatullah meyebarkan agama islam di Jawa Barat, beliau bermaksud untuk memperluas penyebaran agama islam ke Rawa Lakbok daerah Tasikmalaya dan Ciamis.
Hal ini dilaksanakan setelah menaklukan Rajagaluh pada tahun 1528, dan meng-Islamkan Talaga pada tahun 1529.
Beliau bertekad untuk menaklukan dan meng-Islamkan “Ratu Onom” yang berkuasa di Rawa Lakbok termasuk kawasan Tasik dan Ciamis yang terletak di sebelah Selatan Rajagaluh dan Talaga.
Rombongan Sunan Jati Purba Syekh Syarif Hidayatullah yang didampingi oleh Sunan Bonang dan Penasihat Sepuh Embah Kuwu Cakrabuana disertai pula oleh para Gegeden Cirebon telah berangkat menuju Rawa Lakbok meninggalkan Keraton Pakungwati Cirebon untuk beberapa waktu yang tidak ditentukan.
Perjalanan rombongan Sunan Gunung Jati dari Keraton Cirebon ke Rawa Lakbok cukup jauh dan melelahkan, walaupun rombongan Sunan Gunung Jati dari Keraton Cirebon ke Rawa Lakbok cukup jauh dan melelahkan,
walaupun rombongan tersebut mengendarai kuda masing-masing.
Sunan Gunung Jati sampai di daerah sekitar Gunung Kendeng, di lokasi Makam Keramat Sunan Bonang sekarang.
Sunan Gunung Jati memutuskan untuk beristirahat sholat dan wirid di sebelah Selatan Gunung Kendeng,
karena di sana ditemukan sumber air yang besar dan jernih yang sekarang merupakan
“Pancuran Keramat”
Sunan Bonang yang juga dipakai sebagai sumber air bersih bagi masyarakat Desa Cupang.
Sementara beristirahat di sana, kuda-kuda kendaraan para Gegeden tersebut ditambatkan atau dicancang di lokasi yang sekarang disebut
“Telar Tunggangan”
yaitu Tegalan tempat mengistirahatkan kuda-kuda Tunggangan para Gegeden Keraton Cirebon.
Sementara rombongan Sunan Gunung Jati sholat berjama’ah ada sebagian para Gegeden yang khusus meneruskan wiridan, dan ada pula yang terus beristirahat, duduk- duduk, atau berjalan-jalan sambil menikamati udara yang sejuk dan nyaman, sungguh menyegarkan badan, bahkan dapat menghilangkan rasa letih dan lelah akibat perjalanan yang cukup jauh.
Ketika Sunan Gunung jati beserta rombongan beristirahat di kawasan Gunung Kendeng sambil menikmati suasana pegunungan,
datanglah Nyi Mas Gandasari, putrid Ki Gede panguragan ingin bertemu dengan sunan Gunung Jati yang sedang berada di kawasan sekitar Gunung Kendeng.
Selain untuk bertemu dengan Sunan Gunung Jati, Nyi Mas Gandasari juga bermaksud untuk memohon fatwa Sinuhun Cirebon,
karena setiap punya suami selalu meninggal ketika mau tidur bersama dengan Nyi Mas Gandasari.
Nyi Mas Gandasari merasa heran dan kecewa yang mendalam atas kejadian musibah yang selalu menimpa diri dan para suami yang dicintainya.
Upaya untuk mengantisipasi musibah yang selalu terjadi bila Nyi Mas Gandasari punya suami yang baru,
maka ia memohon kesediann Sunan Gunung jati untuk berkenan menjadi suaminya dengan keyakinan tidak bakal terjadi musibah seperti yang dulu-dulu karena Sunan Gunung Jati adalah seorang wali yang sakti mandraguna.
Dengan keputusan yang amat bijaksana, permohonan Nyi Mas Gandasari dikabulkan oleh Sunan Gunung Jati,
namun dengan fatwa agar Nyi Mas Gandasari mau menikah dengan Sunan Bonang.
Sunan Bonang maumenikah dengan Nyi Mas Gandasari dengan syarat Nyi mas Gandasari harus mau diajak naik ke puncak Gunung kendeng untuk berbulan madu.
Setelah sampai di puncak Gunung Kendeng, Nyi Mas Gandasari dipangku oleh Sunan Bonang hingga tertidur nyenyak sekali.
Dengan kesaktian ilmu walinya, pada saat Nyi Mas Gandasari tertidur pulas di pangkuan Sunan Bonang hnya sekejap mata Suanan Bonang telah menyediakan Bokor Emas yang berisi air dan bunga dari berbagai jenis warna,
serta diletakan di depan pangkuan Nyi Mas Gandasari.
Dengan sangat hati-hati dan perlahan-lahan Sunan Bonang membuka dan melepas pakaian Nyi Mas Gandasari, sedikit demi sedikit hingga tidak ada sehelai benangpun yang menutupi bagian bawah badan Nyi Mas gandasari.
Akibat pengaruh hawa dingin air Bokor Emas dan harumnya aroma bunga yang bercampur dengan air Bokor Emas, maka perlahan-lahan keluarlah Ular Welang dari lubang kemaluan Nyi Mas Gandasari.
Setelah bagian badan Ular Welang itu menjulur keluar agak panjang, dengan secepat kilat tangan Sunan Bonang menangkap dan mencabutnya, kemudian badan Ular Welang itu disabetkan atau dipukulkan pada sebatang pohon dan berubahlah badan Ular itu menjadi sebuah keris yang diberi nama
“Keris Welang” atau “Keris Pangeran Welang”.
Setelah itu terjadilah ikrar perjanjian nikah antara Sunan Bonang dan Nyi Mas gandasari bahwa keduanya jadi menikah atau kawin, tapi
“Kawin Batin”
yang dikawinkannya hanya
“Keris Welang” dan Tongkat Sunan Bonang.
Kemudian kedua benda itu dikuburkan secara terpisah menjadi dua buah makam yaitu makam Tongkat Sunan Bonang yang sekarang terkenal dengan Makam Sunan Bonang dan Makam keris Welang yang sekarang disebut Makam Pangeran Welang.
Sebutan nama Makam Sunan Bonang, mulai dipopulerkan oleh
Bapak Kuwu Rusin
ketika merehab dan merenovasi bangunan Makam tersebut, sekitar tahun 1963.
Dana rehab dan renovasi bangunan Makam Sunan Bonang diperoleh dari Tuan Li Nie Leng atau Ama Rohiman sebagai donator dari Jakarta.
Sebelum itu, sejak dahulu masyarakat mengenalnya dengan sebutan Makam keramat Pangeran Bonang, atau Makam Keramat Buyut Bonang bahkan terkadang lokasi makam itu cukup disebut
“Keramat” saja.
Jadi jelas makam tersebut adalah makam “Keramat” artinya yang diwujudkan Makam di sana hanyalah “Keramatnya” atau “Karomahnya”, bukan Jasadnya karena Makam Sunan Bonang yang sebenarnya terdapat di Tuban Jawa Timur